BARISTA INKLUSIF, Kesetaraan di Antara Perbedaan
Sungguh sebuah kehormatan ketika mendapat undangan untuk berpartisipasi dalam acara Barista Inklusif. Acara ini merupakan kerjasama Program Peduli yang berkolaborasi dengan Pusat Rehabilitasi YAKKUM, serta Barista Koffie Lovers Yogyakarta dan diselenggarakan pada hari Minggu pagi 29 Juli 2018 kemarin. Dengan mengundang pembicara-pembicara yang tak jauh-jauh dari dunia kopi, acara Barista Inklusif ini berhasil membelalakkan mata saya Berawal dari Cupable Coffee, sebuah coffeeshop yang terletak di dalam satu kawasan YAKKUM yang pada akhirnya menjadi basecamp barista inklusif. Eko Sugeng, seorang barista difabel yang awalnya merupakan seorang resepsionis di YAKKUM, sering menikmati kopi di Cupable Coffee. Atas ide cemerlang dan kebaikan hati Pak Banu, selaku pemilik Cupable Coffee, Eko Sugeng belajar meracik kopi. Berawal dari penikmat, Eko tertarik memperdalam ilmu tentang kopi. Cup for Empowering For Difabel People yang merupakan tagline dari Cupable Coffee sungguhlah menjalankan visi misinya.
Eko Sugeng menjadi seorang difabel lantaran sebuah kecelakaan yang memaksanya merelakan dua tangannya dan mengharuskannya terbiasa menggunakan kedua lengannya untuk melakukan segala sesuatu. Ia merupakan peserta barista inklusif beserta 7 orang kawannya. Selama satu bulan, mereka memperdalam ilmu tentang kopi, dari biji hinggga ke meja saji. Bahkan, mereka dibekali ilmu tentang perencanaan bisnis, mulai dari masalah modal hingga strategi marketing. Harapannya, mereka mampu hidup dan berkembang melalui kopi dengan membuka kedai kopinya masing-masing. Dan benar saja, Eko Sugeng mendapat juara kedua di sesi fun battle yang diikuti oleh barista-barista di kota Yogyakarta. Proses pelatihan barista inklusif membawa bukti nyata bahwa program ini sukses melahirkan peracik-peracik kopi ciamik dan patut diperhitungkan.Takjub dan haru ketika mereka -kaum yang diminoritaskan di masyakarat kita-, mampu berproses dengan sangat baik dibanding kita yang tampak 'normal'. Dan jika kalian melihat langsung proses mereka menyeduh, pasti kalian akan merinding dan bangga. Bertujuan menyetarakan keberadaan kita melalui kopi, acara yang mengusung tema #karenakopikitasetara ini, sukses menuai banyak tepuk tangan hormat dan kebanggaan tersendiri bagi setiap tamu yang hadir. Dengan segala keterbatasan yang mereka punya, tak sedikitpun mematahkan semangat, justru bak lecutan untuk menunjukkan kepada belahan dunia yang diskriminatif ini, bahwa kaum minoritas mampu menjadi hebat dan layak diperhitungkan.
Acara Barista Inklusif ini menghadirkan pembicara yang bersinggungan dengan kopi di dalam hidupnya. Bernard Batubara, seorang penulis yang sudah banyak menleurkan buku ini,sering mengisi waktunya dengan menulis di kedai kopi. Suatu saat, dirinya pernah mengalami sebuah kejenuhan dalam dunia tulis menulis, dan harus menjalani syuting di kedai kopi milik kawannya yang terdapat di salah sudut kota Yogyakarta. Selama ijni, ia hanya mengamati para barista meracik kopi, tanpa pernah mengetahui bagaimana biji kopi dapat menjadi sebuah minuman yang nimat. Karena ketidaksengajaannya melihat berbagai alat kopi yang unik, Bara, sapaan akrabnya, mulai penasaran bagaimana cara kerjanya. Dari situlah ia mendapat kesempatan mencoba meracik kopi untuk pertama kalinya. Hingga pada akhirnya ia membeli beberapa alat kopi untuk menyeduh kopi di kamar kosnya. Sungguh cerita yang unik bukan? Sejak saat itulah, Bara kecanduan kopi danmerasa dirinya kembali terinspirasi untuk menulis karena kopi. Ada pula, Frischa Aswarini, penulis ide cerita Filosofi Kopi 2 ini merasa, bahwa proses membuat kopi itu sama halnya dengan membuat puisi. Melalui proses yang panjang dan feeling yang terlibat, supaya dapat menghasilkan kopi yang nikmat. Kopi juga membawa kita masuk pada isu-isu yang krusial dan membuka mata kepedulian terhadap sesama. Frischa juga memiliki saudara dengan disabilitas, sehingga dirinya sangat tertarik dan setuju dengan program yang dinaungi oleh Ranie Ayu Hapsarie selaku Project Manager Program Peduli Pilar Disabilitas. Menurut Ranie, kopi sudah menjadi gaya hidup dan semua orang suka dengan kopi, jadi mengapa tidak jika kopi dijadikan media untuk merangkul kesetaraan bagi kaum marginal.
Di bawah naungan Program Peduli, difabel, anak dan remaja korban HAM, waria, penghayat kepercayaan, dan kaum marginal lainnya diberi ruang untuk dapat berkembang. Pemberdayaan difabilitas di Indonesia sudah mulai dicanangkan sejak tahun 1982, namun sebanyak 32.000 difabel di Indonesia saat ini, sulit mendapatkan lapangan pekerjaan karena dianggap kurang mampu dan kurang bias mengimbangi orang-orang normal lainnya.
“Pada akhirnya kita semua akan difabel.’,ucap Bara ketika sesi ngobrol santai. Kalimat simple yang terlontar dari penulis buku Surat Untuk Ruth ini sungguh membuat kami yang mendengar tertampar.
Dengan adanya pelatihan barista inklusif ini ndiharapkan mampu mencetak barista handal dari aspek keterbatasan, meningkatkan produktivitas, dan tentunya membuat kaum marginal lainnya tertantang dan semangat untuk menunjukkan bahwa sebenarnya kita semua setara dan layak diperhitungkan.
Salam Inklusi!
Comments
Post a Comment