Anomali Otak (3)

Terimakasih atas segala upaya baik yang telah kau perjuangkan mati-matian saat ini.

Setidaknya, aku melihatmu berproses sejak kau seonggok kebodohan yang kupungut dalam doa.

Masih teringat sore itu, beberapa hari setelah aku mengenalmu, aku tersadar, bahwa sesungguhnya kau adalah seorang bajingan yang kasihan.

Aku menemukanmu remuk di atas tulang sendimu sendiri.

Sebegitu sempurnanya keburukanmu tertutupi oleh segala paras yang seringkali dibangga-banggakan oleh para bodoh yang hanya ingin memilikimu tanpa merawatmu dengan kewarasan yang seimbang.

Kau memulai cerita dengan segala riwayat keburukan dengan damai,

Dan aku menemukanmu sebagai jiwa yang tak pernah kering.

Bagaimana tidak?

Kau terlalu bedebah memaknai hidupmu yang hancur.

Setidaknya, aku selalu menerima apa yang sudah kau tumpahkan dengan gebu dan suara bertalu penuh dendam sore itu.

Tapi, marahkah kau jika aku teringat,

Berminggu-minggu setelahnya,

Ketika aku mulai menemukan sudut nyamanku di hatimu,

Aku merasa kau memaksaku menjadi seorang paling hina dan bodoh di ujung semesta. Dengan segala nyata yang kau tamparkan mentah-mentah tepat di depan nafasku yang tersengal dan tenggorokanku yang mulai tersedak airmata-airmata kebencian.

Malam itu, aku kalut dan sesak, seolah ribuan makian digelontorkan cuma-cuma ke berbagai penjuru urat-urat nadiku.

Otakku tak lagi mampu menerima logika yang tak sampai.

Hatiku tak lagi rela menelan pil pahit yang dengan sadar kau jejalkan ke dalam mulutku.

Seketika itu, kau marah besar.

Dari situ, aku tahu, siapa sosok yang bola matanya mengerang, menerjang, dan mencabik tepat di depan mataku.

Kamu tahu, saat itu segala hal buruk tentangmu yang sudah aku takutkan seperti menjadi serentetan gambar yang bergerak-gerak di layar lebar putih dan pucat.

Aku merasa mati dan lebur.

Segeralah tak lama aku bangkit oleh pelukanmu dan segala lafaz ampunanmu.

Jiwa kehambaanku menyerang, "Jika Tuhan mampu mengampuniku untuk segala hal buruk yg sudah kulakukan, siapa aku tak mau mengampunimu?"

Leburlah aku kembali ke dalam ragamu yang hangat dan bijak tanpa sepetakpun dari kulitku yang luput dari kecupan wangimu.

Demi segala kenangan baik yang telah kita ciptakan,

Aku membalas pelukanmu dan menimbun segala lukaku dalam-dalam.

Selalu ada pelita di dalam doa.

Aku membabibuta.

Hingga berkali jatuh bangunku yang tak ayalnya sebuah panci berkarat yang tetap mampu meggosongkan masakan,

Aku bermain dadu atas pilihanku sendiri.

Aku memilih diam dari mencaci.

Hingga pada akhirnya,

Aku terlalu lelah untuk mendiami otakmu yang tak berhenti menjadi keras,

Aku menyelimuti diriku dengan perca-perca harapan yang kau jahit sendiri.

Lagi-lagi, kau mengotori meja kerjaku, lalu kau rapikan lagi dan membuatku riang atas segala upayamu.

Detik ini,

Terimakasih seluas semesta dan hormat sebanyak harap ingin aku lumatkan di dalam mulutku dan membaginya keepadamu ketika nanti kita berkecup mesra.

Kau sudah terlalu matang untuk menjadi bocah tak berselera yang menjengkelkan.

Bahkan kau sudah terlalu mulia untuk kembali menjadi bajingan yang tak hormat.

Kau sudah membaik, sayang.

Lukamu sudah sedikit mengering.

Seluruh amarahmu adalah kepedihanmu yang terkubur terlalu dalam dan membusuk di mimpi-mimpimu, aku mengerti.

Sekarang kau sudah lagi boleh menggantungkan harapan-harapan indahmu ke dalam jiwa lembutmu.

Aku tahu kau mampu.

Dan kau lebih tahu dirimu dari semuanya.

Setidaknya,

kau sudah mulai mampu belajar,

untuk menjadi pemenang tanpa harus mengalahkan.

Tenang saja,

Selama kau tetap seperti ini,

Aku masih menjadi seorang yang manis dan tak payah memelukmu erat.

Solo,

30 Maret 2018,

01:14

Comments

Popular Posts