CERITA SORE KEHIDUPAN
Sore itu di beranda rumah yang latarnya bersih, Nimas dan bu Sri, ibunya duduk di kursi anyaman rotan kuno sambil bercengkerama gila membahas tetangganya yang sedang tertimpa masalah. Dua cangkir teh panas lengkap dengan roti terhidang manis di atas meja bertaplak hijau yang sudah cukup lusuh. angin yang semilir lembut membuat mereka tak sadar sudah mengobrol cukup keras.
Bu Sri : Mungkin bisa dibilang setengah gila, nduk.
Nimas : Lha yo kalau kayak begitu itu sudah bukan setengah gila, Bu. Itu sinting namanya.
Bu Sri : Hush! Ndak boleh ngomong kasar begitu to. Anak wedok kuwi sing alus
Nimas : Lha tapi ini kan bener-bener keterlaluan to, Bu? Sudah jelas-jelas itu sungguh memalukan lhoh,
Bu. lha kok malah sengaja disebarkan. Kan yo nggilani. Apa ndak mikir ya, Bu orang kayak gitu?
Bu Sri : Halah, mbok sudah to. Wong orang juga sudah punya jalan hidup sendiri-sendiri.
Nimas : Tapi kan yo risih didengernya.
Bu Sri : Iya, ibu tau. Tapi kan jalan hidup orang itu sudah yang di atas yang mengatur to, Nduk.
Nimas : Di atas siapa? (sambil melongokkan kepalanya ke atas) atap langit? apa pohon itu?
Bu Sri : Nduk, kamu ndak boleh begitu.
Nimas : Sekarang apa sih yang bisa diandalkan hidup di dunia ini? Kalo mereka berani main pelet kayak
gitu. yo kita hrus bales dengan santet sekalian dong, Bu!
Bu Sri : Ealahhh, anakku... Kamu ini kan yo tiap hari sembayang. tujuanmu itu buat apa?
Cuman jengkang-jengking tapi kelakuanmu kayak gitu. Lha yo kamu pada wae sama mereka.
Nimas : Tapi kan puas, Bu kalo bisa balas???
Bu Sri : Nduk, buat apa to, kamu mikir kadonyan yang ruwet kayak gini sampai sebegitunya? Kita ini
hidup sudah ada yang ngatur. Kayak wayang itu lho. Kita wayangnya, Gusti Allah dalangya.
Lhah kelir itu sebagai gambaran dunia ini. Kamu kalo nonton wayang selama ini berarti yo cuman
nonton tok tanpa diambil amanatnya po?
Nimas : Lha yo ndak gitu, Bu. Tapi kan kita sekarang mending berdasar kenyataannya saja. Kalo nasihat
seperti itu kan juga Nimas udah sering denger. Wayang karo Dalang terus kelir, gunungan.
Halah, Bu... Itu kan yo mung teori tok.
Bu Sri : Hhh...
Sejenak Bu Sri masuk rumah meninggalkan Nimas yang masih tampak berang dan emosi. Entah kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Mungkin karena dia selalu dimanja dan tidak pernah merasakan susahnya hidup.
Giyarto : Ndoro Putri, ini sudah semua. Ada yang kurang tidak?
Nimas : Sudah bawa masuk saja.
Sembari menumpangkan kaki kirinya ke kaki kanannya, Nimas menyeruput teh buatan ibunya. Tak lama setelah Giyarto, buruh tani di sawah bapaknya yang luas itu memasukkan belanjaan pesanan Nimas, Bu Sri keluar sambil membawa ubi rebus. Ia duduk di kursi tadi lalu diam dan menanti saat yang tepat untuk melanjutkan obrolan mereka.
Bu Sri : Nduk, beginilah.. Memang, hidup di dunia ini susah. Kamu harus memilih. Karena hidup itu
pilihan. Jadi kamu memang harus bisa memilah, mana yang seharusnya jadi yang terbaik. Tapi
kalau kamu sudah berusaha tetap tidak bisa, ya memang berarti itu sudah jalannya.
Nimas : (diam saja)
Bu Sri : Kita itu harus bersyukur dengan apa yang sudah diberikan sama Gusti Allah. Kita ndak boleh
nuntut ini itu. Lha kita aja ndak tau apa yang harus kita berikan ke Gusti yang sudah kasih kita
hidup to? Bahkan kita ndak mintapun, Gusti Allah juga sudah kasih. Sudah maringi apa yang kita
butuhkan.
Hidup itu harus ikhlas, nduk. Maturnuwun sama yang di atas, pasrah, tapi tetep berusaha.
Nimas : Iya, Bu. Tapi kan kita tetep ndak ngrasain bahagia? Masa mau kita hidup dicaci maki orang terus.
Dituduh yang ndak-ndak.
Bu Sri : Justru kamu harusnya bersyukur kalau kamu dihina atau dituduh ini itu. Dosamu berkurang to,
sudah gitu kamu jadi bisa lebih mawas diri. Orang njelekin kamu pasti ada sebab ada akibatnya.
Heh, nduk... Ndak ada asap kalau ndak ada api.
Nimas : Iya ya, Bu. Berarti kita malah kudu bersyukur gitu po, Bu kalau kita disakiti orang lain?
Bu Sri : Ya iya, kan berarti sudah ada yang perhatian sama kita.
Nimas : Jan e yo aneh ya, Bu. Tapi yo memang ada benernya juga.
Bu Sri : Nduk, KALAU KAMU MENGANGGAP SEGALA SESUATU YANG MENIMPA DIRIMU SEBAGAI SEGALA PEMBERIANNYA, MAKA SEMUANYA AKAN MENJADI BAIK, AIB MENJADI KUDUS, PAHIT MENJADI MANIS, DAN HITAM KELAM MENJADI TERANG BENDERANG....
Bu Sri meninggalkan Nimas yang terbengong di beranda sendirian ke dalam rumah. Nimas hanya terpekur diam menghayati kalimat -kalimat ibunya.
Matahri masih sore di ujung sana, dia segera beraanjak dari beranda rumahnya, dan mengahampiri temannya yang sedang tertimpa masalah itu dan mencioba menyampaikan apa yang baru saja diwejangkan Ibu kepadanya..
pukul satu dua puluh lima
delapan juli dua ribu sembilan
-akuayuuu-
Bu Sri : Mungkin bisa dibilang setengah gila, nduk.
Nimas : Lha yo kalau kayak begitu itu sudah bukan setengah gila, Bu. Itu sinting namanya.
Bu Sri : Hush! Ndak boleh ngomong kasar begitu to. Anak wedok kuwi sing alus
Nimas : Lha tapi ini kan bener-bener keterlaluan to, Bu? Sudah jelas-jelas itu sungguh memalukan lhoh,
Bu. lha kok malah sengaja disebarkan. Kan yo nggilani. Apa ndak mikir ya, Bu orang kayak gitu?
Bu Sri : Halah, mbok sudah to. Wong orang juga sudah punya jalan hidup sendiri-sendiri.
Nimas : Tapi kan yo risih didengernya.
Bu Sri : Iya, ibu tau. Tapi kan jalan hidup orang itu sudah yang di atas yang mengatur to, Nduk.
Nimas : Di atas siapa? (sambil melongokkan kepalanya ke atas) atap langit? apa pohon itu?
Bu Sri : Nduk, kamu ndak boleh begitu.
Nimas : Sekarang apa sih yang bisa diandalkan hidup di dunia ini? Kalo mereka berani main pelet kayak
gitu. yo kita hrus bales dengan santet sekalian dong, Bu!
Bu Sri : Ealahhh, anakku... Kamu ini kan yo tiap hari sembayang. tujuanmu itu buat apa?
Cuman jengkang-jengking tapi kelakuanmu kayak gitu. Lha yo kamu pada wae sama mereka.
Nimas : Tapi kan puas, Bu kalo bisa balas???
Bu Sri : Nduk, buat apa to, kamu mikir kadonyan yang ruwet kayak gini sampai sebegitunya? Kita ini
hidup sudah ada yang ngatur. Kayak wayang itu lho. Kita wayangnya, Gusti Allah dalangya.
Lhah kelir itu sebagai gambaran dunia ini. Kamu kalo nonton wayang selama ini berarti yo cuman
nonton tok tanpa diambil amanatnya po?
Nimas : Lha yo ndak gitu, Bu. Tapi kan kita sekarang mending berdasar kenyataannya saja. Kalo nasihat
seperti itu kan juga Nimas udah sering denger. Wayang karo Dalang terus kelir, gunungan.
Halah, Bu... Itu kan yo mung teori tok.
Bu Sri : Hhh...
Sejenak Bu Sri masuk rumah meninggalkan Nimas yang masih tampak berang dan emosi. Entah kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Mungkin karena dia selalu dimanja dan tidak pernah merasakan susahnya hidup.
Giyarto : Ndoro Putri, ini sudah semua. Ada yang kurang tidak?
Nimas : Sudah bawa masuk saja.
Sembari menumpangkan kaki kirinya ke kaki kanannya, Nimas menyeruput teh buatan ibunya. Tak lama setelah Giyarto, buruh tani di sawah bapaknya yang luas itu memasukkan belanjaan pesanan Nimas, Bu Sri keluar sambil membawa ubi rebus. Ia duduk di kursi tadi lalu diam dan menanti saat yang tepat untuk melanjutkan obrolan mereka.
Bu Sri : Nduk, beginilah.. Memang, hidup di dunia ini susah. Kamu harus memilih. Karena hidup itu
pilihan. Jadi kamu memang harus bisa memilah, mana yang seharusnya jadi yang terbaik. Tapi
kalau kamu sudah berusaha tetap tidak bisa, ya memang berarti itu sudah jalannya.
Nimas : (diam saja)
Bu Sri : Kita itu harus bersyukur dengan apa yang sudah diberikan sama Gusti Allah. Kita ndak boleh
nuntut ini itu. Lha kita aja ndak tau apa yang harus kita berikan ke Gusti yang sudah kasih kita
hidup to? Bahkan kita ndak mintapun, Gusti Allah juga sudah kasih. Sudah maringi apa yang kita
butuhkan.
Hidup itu harus ikhlas, nduk. Maturnuwun sama yang di atas, pasrah, tapi tetep berusaha.
Nimas : Iya, Bu. Tapi kan kita tetep ndak ngrasain bahagia? Masa mau kita hidup dicaci maki orang terus.
Dituduh yang ndak-ndak.
Bu Sri : Justru kamu harusnya bersyukur kalau kamu dihina atau dituduh ini itu. Dosamu berkurang to,
sudah gitu kamu jadi bisa lebih mawas diri. Orang njelekin kamu pasti ada sebab ada akibatnya.
Heh, nduk... Ndak ada asap kalau ndak ada api.
Nimas : Iya ya, Bu. Berarti kita malah kudu bersyukur gitu po, Bu kalau kita disakiti orang lain?
Bu Sri : Ya iya, kan berarti sudah ada yang perhatian sama kita.
Nimas : Jan e yo aneh ya, Bu. Tapi yo memang ada benernya juga.
Bu Sri : Nduk, KALAU KAMU MENGANGGAP SEGALA SESUATU YANG MENIMPA DIRIMU SEBAGAI SEGALA PEMBERIANNYA, MAKA SEMUANYA AKAN MENJADI BAIK, AIB MENJADI KUDUS, PAHIT MENJADI MANIS, DAN HITAM KELAM MENJADI TERANG BENDERANG....
Bu Sri meninggalkan Nimas yang terbengong di beranda sendirian ke dalam rumah. Nimas hanya terpekur diam menghayati kalimat -kalimat ibunya.
Matahri masih sore di ujung sana, dia segera beraanjak dari beranda rumahnya, dan mengahampiri temannya yang sedang tertimpa masalah itu dan mencioba menyampaikan apa yang baru saja diwejangkan Ibu kepadanya..
pukul satu dua puluh lima
delapan juli dua ribu sembilan
-akuayuuu-
Comments
Post a Comment